Rabu, 30 Januari 2013

makalah Perkembangan Moral, Nilai, Spiritual, Pendidikan Karakter, Kecerdasan Ganda, Pemrosesan Informasi, Sikap Prososial, Gender dan Pemrosesan Informasi pada Anak dan Remaja

Perkembangan Moral, Nilai, Spiritual, Pendidikan Karakter, Kecerdasan Ganda, Pemrosesan Informasi, Sikap Prososial, Gender dan Pemrosesan Informasi pada Anak dan Remaja

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam
Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Dosen pengampu : Suyoto, M.Pd



UMP
 











Di susun oleh:
Kelompok 10
Kelas 1F


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FALKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2011/20012
MOTTO

http://beta.pencerahanhati.com/uploads_admin/uploads_surah/66_6.jpg
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q. S.  At-tahrim : 6)

http://kawansejati.ee.itb.ac.id/alquran-digital/img/s033/a021.png
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q. S. Al-Ahzab : 21)



Nama Anggota :

1.         Hesti Kurniasih (112144)
2.         Lusiani (112144)
3.         Tika Ratna Ciptan Diani (112144360)



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulilah segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kita mampu menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam senantiasa kami sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya.
Meskipun dalan penyusunan makalah ini penyusun banyak menghadapi hambatan-hambatan namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya laporan ini dapat terselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1.        Bapak Suyoto, M.Pd selaku dosen Perkembangan Peserta Didik sebagai pembimbing makalah ini.
2.        Kedua orang tua kami yang telah membimbing dan memberikan doa restu.
3.        Seluruh teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Sebagai penyusun kami menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karnanya penyusun berharap dari para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pemerhati pendidikan pada umatnya, serta makalah ini merupakan sebuah pengabdian kepada Allah SWT dan dapat menambah ketundukan kepada-Nya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                            Purworejo, Maret 2012


Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
MOTTO
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I      PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
B.       Tujuan Penulisan Makalah
BAB II    RUMUSAN MASALAH
BAB III   PEMBAHASAN MASALAH
A.    Perkembangan Moral
B.     Perkembangan Nilai
C.     Perkembangan Spiritual
D.    Pendidikan Karakter
E.     Kecerdasan Ganda
F.      Pemrosesan Informasi
G.    Sikap Prososial
H.    Gender dan Pemrosesan Informasi pada Anak dan Remaja
BAB IV   PENUTUP
A.       Simpulan
B.       Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN HASIL DISKUSI





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Hidup adalah perbuatan”, demikianlah kata Sutrisno Bachir. Hidup itu adalah pilihan demikian kata yang lain. Dan masih banyak lagi definisi-definisi subyektif tentang kehidupan ini. Namun yang terpenting, bahwa hidup adalah memperjuangkan apa yang menjadi nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Para pahlawan menjalani kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kemerdekaan sejati. Para ilmuwan menjalani kehidupannya untuk memperjuangkan sebuah nilai kebenaran pengetahuan dan pembelajaran. Dan masih banyak lagi contoh-contoh pemaknaan dari kehidupan yang kesemuanya itu sebenarnya menjelaskan hakikat kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai kehidupan itu beraneka ragam, namun pada dasarnya ia hanya terbagi menjadi dua bagian besar yaitu nilai kebaikan dan nilai keburukan. Setiap individu diciptakan Tuhan bebas untuk menentukan jalan hidupnya berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang ada. Implikasinya, manusia pasti akan mencari tahu nilai-nilai kehidupan itu, baik melewati proses internalisasi dan pembelajaran dari pengalaman yang ia alami. Sehingga sampai ada pepatah yang mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Ketika manusia telah mengetahui nilai-nilai kehidupannya, maka saat itulah hati sanubarinya akan bersuara memberikan pilihan atas nilai-nilai tersebut. Pemahaman dan penghayatan yang dilakukan akan membawanya kepada kearifan hidup yang berujung pada munculnya sikap hidup yang sesuai dengan nilai kehidupan. Dengan demikian, manusia akan menjadi baik manakala ia menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang baik. Sebaliknya, manusia akan menjadi buruk ketika ia menginternalisasi nilai-nilai kehidupan yang buruk. Maka dari itu, dalam makalah ini akan kami bahas mengenai perkembangan nilai, moral dan sikap manusia. Pembahasan ini meliputi definisi; karakteristik; faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan upaya pengembangan nilai, moral dan sikap; dan upaya pengembangannya.

B.       Tujuan Penulisan Makalah

1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui perkembangan masa- masa manusia dalam kehidupan.
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui perkembangan nilai-nilai manusia di dalam kehidupan.


























BAB II
RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah perkembangan moral itu?
2.      Apakah perkembangan nilai?
3.      Apakah  perkembangan spiritual?
4.      Apakah pendidikan karakter?
5.      Apa yang dimaksud kecerdasan ganda?
6.      Jelaskan mengenai pemrosesan informasi!
7.      Jelaskan mengenai pemrosesan informasi!
8.      Apakah itu perkembangan peran jenis kelamin, penggolongan gender, perkembangan gender, dan pemrosesan informasi pada anak dan remaja?













BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

A.  Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).  Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam pengalamannya  berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
1.      Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagiaan struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan salahya sesuatu.
2.      Teori Belajar- Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
3.      Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan  hasil observasinya  tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak, piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu:
1.      Tahap Heterononous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.

2.      Tahap Autonomous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.

4.      Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas teori piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadapkan dengan suatu dilema moral, di mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan beraturan. Hal penting dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.
Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya adalah penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban (Setiono, 1994).

B.  Perkembangan Nilai
Masa remaja merupakan suatu proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan menuju bentuk sikap dan tingkah laku yang mengarah pada kedewasaan. Sedikit demi sedikit kondisi kejiwaan mereka berkembang, lebih memaknai apa yang mereka alami serta lebih peka pada kondisi emosional di sekitar mereka. Mereka mulai bisa mengendalikan emosi sehingga moral dan sikap mereka menunjukkan nilai dalam kehidupan.
Dalam kenyataan di sekitar kita, dapat diamati bahwa moral masyarakat Negara-negara Barat berbeda dengan moral yang dimiliki oleh Negara Negara Timur. Hal ini dikarenakan latar kebudayaan yang sangat berbeda. Sebagai contoh, bagi masyarakat di Negara Negara barat menggunakan pakaian-pakaian minim (seksi) di khalayak umum adalah hal yang biasa bahkan menjadi budaya dan kebiasaan. Akan tetapi,bagi masyarakat Timur hal tersebut sangat tidak lazim bahkan dianggap tidak bermoral atau memalukan. Hal ini mencerminkan bahwa perkembangan moral masyarakat Timur bisa disebut lebih sopan moralnya dalam hal berbusana daripada masyarakat Barat.
Terdapat perbedaan- perbedaan individual dalam pemahaman nilai-nilai dan moral sebagai pendukung sikap dan perilakunya. Jadi mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan serta tingkah laku. Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moral dan tingkah laku seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:

a.    Menciptakan komunikasi. Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan.
b.    Menciptakan iklim lingkungan yang serasi. Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri, kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.

C.  Perkembangan Spiritual
1.      Pengertian Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu spirituality, kata dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (Echols dan Shadily, 1997). Kata spirit sendiri berasal dari kata latin spiritus yang berarti luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis yang berarti of the spirit (kerohanian). Ingersoll (1994) mengartikan spiritualis sebagai wujud dari karakter spiritual, kualitas, atau sifat dasar.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualis bagi mereka. Dengan mengutip hasil penelitian Martsolf dan Mickley, Aliah B. Purwakania Hasan menyebutkan beberapa kata kunci yang bisa dipertimbangkan, yaitu:
1)      Meaning (makna)
2)      Values (nilai-nilai)
3)      Transcendence (transendensi)
4)      Connecting (bersambung)
5)      Becoming (menjadi)

2.      Spiritualitas dan Religiusitas
Agama memang tidak mudah untuk didefinisikan secara tepat, karena agama mengambil bentuk bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa latin religio, yang berarti suatu hubungan antara manusia dan Tuhan. Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri, karena intimitas jiwa. Dalam ini, spiritualitas mencakup citra rasa totalitas kedalam pribadi manusia.
Istilah spiritulitas dan religius sering kali dianggap sama, namun banyak pakar yang menyatakan keberatannya jika kedus istilah ini dipergunakan saling silang. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang aasl, tujuan dan nasib. Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas, dan kode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa orang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan).
Spiritualitas dalam Psikologi Humanistik
Teori ini menyiratkan penolakan terhadap pendapat bahwa tingkah laku manusia sema-mata ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sebaliknya, teori ini melihat manusia sebagai aktor dalam drama kehidupan, bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Teori ini berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self-direction.

3.      Spiritualitas dalam Psikologi Transpersonal
Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembangan dari psikologi humanistik. Ada dua unsur yang menjadi perhatian psikologis transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Denagn kata lain, psikologi transpersonal menfokuskan perhatian pada dimensi spiritual dan pengalaman-pengalaman rohaniah manusia.

4.      Dimensi-mimensi Spiritualitas
Meskipun para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus dipahami dalam miltidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu:
1)      Makna (meaning)
2)      Konsep tentang ketuhanan (conception of divinity)
3)      Hubungn (relationship)
4)      Misteri (mystery)
5)      Pengalaman (experience)
6)      Perbuatan atau permainan (play)
7)      Intregrasi (intregration)
Berbeda dengan Ingersoll, Burkhardt (dalam Achir Yani s Hamid, 2000), menyebutkan empat dimensi spiritualitas, yaitu:
1)      Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau tidakkepastian dalam kehidupan.
2)      Menentukan arti atau makna hidup.
3)      Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalm diri sendiri.
4)      Mempunyai perasaan keterkaitan denagn diri sendiri dan Tuhan Yang Maha Tinggi.

5.      Teori Perkembangan Spiritual Fowler
Dalam teorinya, Fowler mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakian yang dibangun atas dasar teori-teori perkembangan dari Erikson, Piaget, Kohlberg, Perry, Gillingan, dan Levinson. Fowler bahwa spiritualitas dan kepercayaan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.      Primal faith
2.      Intuitive-projective faith
3.      Mythic-literal faith
4.      Synthetic-conventional faith
5.      Individuative-reflective faith
6.      Conjuctive faith
7.      Universaling faith (Dacey dan Kenny, 1997)

a.       Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Anak Usia Sekolah
Menurut Fowler (dalam Muhammad Idrus, 2006), pada tahap ini sesuai denagn tahap kognitifnya, anak daapat baerfikir logis dan mengatur dunia dalam katagori-katagori yang baru.
b.      Karakteristik Perkembangan Spiritualitas Remaja
Keyakinan agama pada remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal kank-kanak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.
c.       Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Berikut ini akan dikemukakan beberapa stategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik :
1.      Membeikan pendidikan moral adan keagamaan melalaui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yakni sekolah menjadi atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.      Memberikan pendidikan moral langsung (direct moral education) yakni pendidikan moral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3.      Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya menbantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
4.      Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
5.      Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti:
§  Memupuk hubungn kadar anak dengan Tuhan melelui doa setiap hari.
§  Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
§  Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akam membimbing kita apabila kita meminta.

D.  Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup Bangsa ini.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

E.  Kecerdasan Ganda
Kecerdasan adalah salah satu milik kita yang berharga.Akan tetapi kecerdasan adalah salah satu konsep yang sulit didefinisikan sehingga orang – orang paling cerdas pun abelum mencapai kesepakatan perihal definisi dan cara pengukurannya.
1.      Pengertian Kecerdasan
Beberapa ahli mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah; ahli lain mendeskripsikannya sebagai kapasitas beradaptasi dan belajar dari pengalaman.Ahli lain berpendapat bahwa kecerdasan meliputi karakteristik seperti kreatifitas dan keahlian interpersonal.Kita akan menggunakan definisi kita tentang kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman.
Kecerdasan berasal dari perubahan fokus ke arah penilaian dan perbedaan – perbedaan individu. Perbedaan – perbedaan individu adalah perbedaan yang konsisten dan stabil pada tiap orang. Perbedaan kecerdasan individual secara umum telah diukur melalui tes - tes kecerdasan, yang didesain untuk menyatakan pada kita apakah seseorang dapat bepikir lebih baik dibandingkan orang lain yang mengerjakan tes yang sama.
Penggunaan suatu skor tunggal untuk mendeskripsikan kinerja seseorang dalam tes – tes kecerdasan memberi kesan bahwa kecerdasan adalah kemampuan umum,sebuah sifat bawaan tunggal.Skala – skala wechler memberikan nilai – nilai khusus untuk sejumlah keahlian intelektual, dan juga sebuah nilai menyeluruh.
Wechsler bukanlah psikolog pertama yang memilah – milah kecerdasan menjadi sejumlah kemampuan, dan juga bukan yang terakhir. Sejumlah psikolog kontemporer terus – menerus mencari komponen – komponen spesifik yang membentuk kecerdasan.Beberapa dari mereka tidak bergantung pada tes – tes kecerdasan tradisional dalam mengkonseptualisasi ikan kecerdasan.
Pendekatan – pendekatan faktor sebelum Wechsler membagi kecerdasan menjadi kecerdasan khusus dan umum, Charles Spearman (1927) mengajukan teorinya bahwa kecerdasan memiliki dua faktor. Teori dua faktor adalah teori Spearman bahwa individu – individu memiliki kecerdasan umum,
Spearman mengembangkan teorinya dengan menerapkan  suatu teknik yang disebut analisis faktor. Analisis Faktor ialah suatu prosedur statistik yang menghubungkan nilai – nilai tes untuk mengidentifikasi kelompok – kelompok atau faktor – faktor yang mendasar.
Menurut Gardner, orang memiliki kecerdasan ganda dan tes – tes IQ mengukur sebagian kecil saja. Kecerdasan – kecerdasan ini bersifat mandiri satu dengan yang lain. Sebagai bukti adanya kecerdasan ganda, Gardner menunjukan kejadian – kejadian dimana kemampuan kognitif tertentu tetap bertahan meskipun ada kerusakan otak. Ia juga menunjuk pada anak – anak yang mengalami keterbelakangan (seperti autis) tetapi memiliki keahlian luar biasa dalam bidang tertentu (seperti karakter Dustin Hoffman dalam film “Rain Man” yang merupakan seseorang autis tetapi memiliki kemapuan hitung yang luar biasa.
Gardner (1983, 1993, 2001, 2002) mengusulkan delapan tipe kecerdasan. Daftar berikut mendeskripsikan tipe – tipe tersebut disertai contoh – contoh pekerjaan yang cocok (Campbell, campbell, dan Dickinson, 2004)
·         Keahlian Verbal : Kemampuan menggunakan kata – kata dan bahasa untuk mendeskripsikan makna.
Pekerjaan : Penulis, Jurnalis, pembicara
·         Keahlian Matematis : Kemampuan mengerjakan operasi – opersi matematika.
Pekerjaan : Ilmuan, insyinyur, akuntan
·         Keahliah spasial : kemampuan berpikir tiga dimensi
Pekerjaan : arsitek, seniman, pelaut
·         Keahlian Kinesterik – fisik : kemampuan memanipulasi obyek dan menjadi ahli secara fisik.
Pekerjaan : Ahli bedah, pemahat, penari, atlet
·         Keahlian Musikal : Sensitivitas terhadap pola titinada (pitch), melodi, ritme, dan nada.,
Pekerjaan : Komposer, pemusik, dan pendengar pemusik yang peka.
·         Keahlian Inter – Personal :kemampuan untuk memahami dan berinteraksi scara efektif dengan orang lain.
Pekerjaan : Guru yang sukses, prefesional dalam bidang kesehatan mental
·         Keahlian inter – personal : Kemampuan untuk memahami diri sendiri
Pekerjaan : Teolog, psikolog
·         Keahlian natural : Kemampuan mengobservasi pola – pola alam dan memahami sistem alamiah atau sistem buatan manusia.Pekerjaan : Petani, ahli botani, ahli ekologi, ahli taman.
Menurut Gardner, setiap orang memiliki semua tipe kecerdasan tersebut. Tetapi dalam tingkatan yang bervariasi. Akibatnya, kita cenderung mempelajari dan memproses informasi dengan cara yang berbeda – beda. Orang mampu belajar dengan baik ketika mereka dapat mengaplikasikan keunggulan kecerdasan mereka dalam tugas itu.
Tujuan menerapkan pandangan Gardner dalam mendidik anak adalah memungkinan mereka menemukan dan mengeksplorasi bidang – bidang dimana mereka memiliki keingintahuan dan bakat alami. Menurut Gardner, seandainya para Guru memberi anak – anak kesempatan untuk menggunakan tubuh, imajinasi dan indra mereka, hampir setiap siswa akan menemukan bahwa dirinya sangat ahli dalam suatu hal tertentu. Bahkan seseorang yang tidak memahami  satu bidang ilmupun akan menemukan bahwa dirinyaa memiliki kekuatan – kekuatan yang setara dengan orang lain.

F.    Pemrosesan Informasi
 Pemrosesan informasi adalah suatu kerangka berpikir mengenai perkembangan remaja, sekaligus juga suatu faset perkembangan tersebut. Pemrosesan informasi terdiri dari gagasan-gagasan tertentu mengenai jalan pemikiran remaja dan metode terbaik untuk mempelajarinya.
Pemrosesan informasi berkaitan dengan bagaimana individu memproses informasi tentang dunia mereka. Bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, lalu disimpan dan diolah. Lalu bagaimana informasi tersebut diambil kembali untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kompleks seperti memecahkan masalah dan berpikir.Prinsip behaviorisme dan belajar yang tradisional tidak banyak menjelaskan hal yang terjadi dalam pemikiran seseorang. Sedangkan teori perkembangan kognitif Piaget memberi garis besar perubahan kognisi, tetapi tidak menjelaskan sejumlah rincian penting mengenai langkah-langkah yang dilalui dalam menelaah informasi.
Pandangan pemrosesan informasi mencoba memperbaiki kekurangan teori behaviorisme tradisional dan teori Piaget, pandangan ini menguraikan proses-proses mental dan mengajukan penjelasan rinci mengenai cara kerja proses-proses tersebut dalam situasi yang konkret (Siegler, 1995).Tiga perubahan perkembangan dalam hal pemrosesan informasi pada remaja : remaja memproses informasi lebih cepat, memiliki kapasitas pemrosesan yang lebih besar, dan menunjukkan otomatisasi yang lebih besar dalam memproses informasi dibanding anak-anak. Sedangkan menurut Robbie Case (1985), remaja memiliki semakin banyak sumber kognitif yang tersedia karena meningkatnya otomatisasi, kapasitas pemrosesan dan keakraban dengan materi pengetahuan.
Dalam pemrosesan informasi terdapat dua proses kognitif yang sangat penting yaitu atensi dan memori. Atensi adalah pemusatan atau pemfokusan usaha mental yang bersifat selektif dan beralih. Sedangkan memori adalah penyimpanan informasi sepanjang waktu yang merupakan pusat bagi kehidupan mental dan pemrosesan informasi. Memori terbagi menjadi dua yaitu memori jangka pendek dan memori jangka panjang.
Atensi dan memori terjadi agak cepat ketika remaja menelaah informasi atau menyelesaikan suatu masalah, maka pemecahan dan pemantauan kognitif berperan bagi remaja dalam memantau untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan mereka.
Pemantauan kognitif (cognitive monitoring) adalah proses pencatatan hal-hal yang sedang dikerjakan, apa yang akan dikerjakan kemudian, dan seberapa efektif kegiatan mental tersebut berkembang. Pemantauan kognisi selain penting untuk memahami cara remaja memecahkan masalah sosial juga penting dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan aspek non sosial dari inteligensi. Misalnya saat remaja sedang mengerjakan soal matematika, yang terdiri dari banyak soal dan membutuhkan waktu yang panjang, ia akan menentukan jenis masalah yang dikerjakan dan cara terbaik untuk memecahkannya. Dengan begitu mereka dapat menilai apakah jalan yang dilakukannya berhasil atau tidak.
Orang tua, guru, dan teman sebaya dapat menjadi sumber yang efektif untuk meningkatkan pemantauan kognitif remaja. Pengajaran timbal balik adalah strategi pengajaran yang semakin banyak dipakai.
Berkaitan erat dengan keterampilan pengambilan keputusan yang tepat adalah berpikir kritis. Berpikir kritis meliputi kemampuan seseorang untuk memahami makna yang mendalam dari suatu masalah, keterbukaan pikiran terhadap berbagai pendekatan atau pandangan yang berbeda, dan menentukan sendiri hal yang diyakininya. Agar pemikiran kritis dapat berkembang secara efektif, dibutuhkan dasar yang kuat dalam hal keterampilan dan pengetahuan dasar di masa kanak-kanak.
Psikolog kognitif, Robert J. Stenberg (1985), berpendapat bahwa kebanyakan program sekolah tidak mendidik anak untuk berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis remaja dalam kehidupan sehari-hari menurut Stenberg adalah : mengenali ada masalah, mendefinisikan masalah dengan jelas, mengatasi masalah, mengambil keputusan mengenai hal-hal pribadi yang penting, mendapatkan informasi, berpikir dalam kelompok, dan merancang pendekatan jangka panjang untuk masalah jangka panjang.
Menurut pada peneliti, program berpikir kritis akan lebih efektif bila programnya bersifat ”domain-spesific” atau berisi hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah khusus tertentu daripada yang bersifat ”domain-general” atau yang bersifat umum.
Pada masa kini, komputer sangat berperan penting dalam perkembangan pandangan pemrosesan informasi. Komputer memiliki dampak positif sebagai pengajaran, alat multiguna yang juga aspek motivasional dan sosial dari komputer. Meski begitu terdapat pula dampak negatifnya yang mencakup adanya pemecahan dan dehumanisasi terhadap belajar, selain pembentukan kurikulum yang tidak terjamin.

G. Tingkah Laku Prososial
Ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, manusia adalah mahluk yang senantiasa mengalami perubahan atau ‘change over time’. Sejak dari masa konsepsi hingga meninggal dunia, manusia secara bertahap mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu aspek perkembangan psikososial yang di alami manusia adalah perkembangan tingkah laku prososial.
Dalam khasanah psikologi, istilah tingkah laku prososial bukanlah hal yang baru. Sejumlah ahli telah berusaha mempelajari tingkah laku tersebut dan mencoba untuk memutuskan definisi yang dianggap dapat memberikan penjelasan. Eisenberg dan Fabes (1998), misalnya, secara sederhana mendefinisikan tingkah laku prososial sebagai “voluntary behaviour intented to benefit another”. Menurut Baron Byrne (1991) tingkah laku prososial adalah tindakan menolong orang lain. Adapun Wispe (dalam Wrightsman, 1981) mendefinisikan tingkah laku prososial sebagai tingkah laku yang punya konsekuensi sosial positif yaitu menambah kondisi fisik dan psikis orang lain menjadi lebih baik. Semantara itu Brigham, (1991) menggungkapkan bahwa wujud tingkah laku prososial meliputi: murah hati (charity), persahabatan (friendship), kerjasama (cooperation), menolong (helping), penyelamatan (rescuing), pertolongan darurat oleh orang yang terdekat (bystander intervension), pengorbanan (sacrificing), berbagi/memberi (sharing). Demikian juga Bar-Tal (1976) mendefinisikan tingkah laku prososial sebagai tingkah laku yang dilakukan secara sukarela, menguntungkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal dan tingkah laku tersebut dilakukan tidak untuk dirinya sendiri. Selanjutnya Lead (dalam Staub, 1978) menyatakan ada tiga kriteria yang menentukan tingkah laku altruistic, yaitu:
1.      Tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan rewards eksternal.
2.      Tindakan yang dilakukan dengan sukarela.
3.      Tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baik.
Menurut Staub (1978) tingkah laku prososial adalah tindakan sukarela dengan menganmbil tanggung jawab menyejahterakan orang lain.
Dari beberapa definisi para ilmuwan diatas, dapat dipahami bahwa tingkah laku prososial adalah tingkah laku sosial positif yang menguntungkan atau membuat kondisi fisik atau psikis orang lain lebih baik, yang dilakukan atas dasar suksrela tanpa menghaapkan rewards eksternal. Dalam penelitian ini tingkah laku tersebut meliputi membantu/menolong, berbagi, dan  menyumbang.
a.      Sumber tingkah laku prososial
Endosentris. Salah satu sumber tingkah laku prososial adalah berasaldari dalam diri seseorang yang disebut sebagai sumber endosentris. Sumber endosentris adalah keinginan untuk mengubah diri, yaitu memajukan self-image. Keinginan mengubah diri tersebut sebagai suatu cara untuk meningkatkan self-image positif yang berfokus kepada aspek self-moral. Secara keseluruhan endosentris ini meningkatkan konsep diri (self-consept). Salah satu bentuk self-concept adalah self-expectations (harapan diri). Self-expectations menjelma ke dalm bentuk-bentuk: rasa bahagia, kebanggaan rasa aman, evaluasi diri yang positif. Self-expectations timbul karena seorang hidup di lingkungan sosial, dimana dalam kehidupan sosial terdapat norma-norma dan nilai. Norma-norma sosial yang di internalisasi ke dalam self-expectations terdiri atas:
1.    Norms of aiding
a.    Norm of sosial responssibility
b.    Norm of giving

2.    Norms of justice
a.    Norm of equity
b.    Norm of reciprocity

        Eksosentris. Sumber eksosentris adalah sumber untuk memerhatikan dunia eksternal, yaitu memajukan, membuat kondisi lebih baik dan menolong orang lain dari kondisi buruk yang dialami. Konsep dasar memajukan orang lain adalah karena adanya:
a)    Kesadaran bahwa orang membutuhkan bantuan (pencapaian tujuan bervalensi positif).
b)   Aktor dan orang yang membutuhkan bantuan dihubungkan oleh hubungan sosial yang memajukan.
Orang yang melakukan tindakan menolong karena mengetahui bahkan mampu merasakan kebutuhan, keinginan, perasaan dan penderitaan orang lain. Hal ini dijelaskan pula oleh Piliavin dan Piliavin (dalam kalylowski,1982) bahwa tindakan menolong tejadi karena:
a)      Adanya pengamatan kecelakaan atau penderitaan pada seseorang. Pengalaman ini akan menimbulkan:
·         Persepsi untuk memutuskan bahwa telah terjadi kecelakaan.
·         Adanya kedekatan jarak fisik antara orang-orang yang ada disekitarnya dengan tempat kejadian kecelakaan.
·         Adanya persepsi yang sama dan kedekatan emosional terhadap korban.

b)      Adanya pengamatan terhadap penderitaan yang dirasakan oleh kecelakaan, sehingga timbul motivasi untuk menguranginya.
Menurut Derlege dan Grzelak (1982) bahwa tingkah laku prososial bisa trjadi karena adanya penderitaan yang dialami oleh orang lain. Pertolongan yang diberikan sebagai suatu tindakan tunggal dengan tidak mengharapkan rewards eksternal.
Pada prinsipnya tingkah laku prososial terjadi karena “ada yang memberi dan ada yang menerima” petolongan. Dalam situasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara yang menolong dengan yang ditolong. Pemberian pertolongan memerlukan situasi khusus, yaitu situasi ketergantungan, dimana seseorang yang membutuhkan pertolongn tergantung paada oang lain yang memberikan pertolonagan.
  b. Perkembangan tingkah laku prososial
Bar-Tal, dkk., (dalam Derlega dan Grzelak, 1982) mengklasifikasikan perkembangan tingkah laku prososial sesuai dengan perkembangan kognitif, socisl-perspective, dan perkembangan moral.adapun tahapan perkembangan tingkah laku prososial tersebut ada enam, yaitu:
1)      Compliance dan Concrete, Defined Reinforcement. Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena permintaan atau perintah yang disertai terlebih dahulu denagn reward atau punishment.
2)      Compliance. Pada tingkat ini individu melakukan tingkah laku menolong krena tunduk pada otoritas.
3)      Internal Initiative dan Concrete Reward. Pada tahap ini individu menolong karena tergantung pada permintaan reward yang diterima.
4)      Nornative Behaviour. Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
5)      Generalized Reciprocity. Pada tahap ini tingkah laku menolong didasari oleh-prinsip-prinsip universal dari pertukaran. Menurut Gouldner (dalam Derlege dan Grzelak, 1982) secara umum norma reciprocity, meliputi: orang yang ditolong dengan orang yang telah menolong, orang yang tidak akan merugikan orang yang menolongnya.
6)      Altruistic Behaviour. Pada tahap ini individu melakukan tindakan menolong secara sukarela.
c.   Keputusan tingkah laku prososial
Dalam membuat keputusan seseorang akan menolong atau tidak, sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama faktor dalam diri manusia, misalnya kepribadian, kemampuan, moral, kognitif, dan empati. Kedua, faktora yang ada di luar diri manusia misalnya kehadiran orang lain, norma-norma, dan situasi tempat kejadian.
Menurut Sears, dkk (1992) dalam situasi tertentu, keputusan untuk menolong melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional, yaitu:
Ø  Pertama : orang harus memerhatikan bahwa sesuatu sedang berlangsung dan memutuskan apakah pertolongan dibutuhkan atau tidak.
Ø  Kedua : jika pertolonagan dibutuhkan, mungkin orang itu masih mempertimbangkan sejauh mana tanggung jawabnya untuk bertindak.
Ø  Ketiga : orang tersebut mungkin menilai ganjaran dan kerugian bila membantu atau tidak.
Ø  Keempat : orang itu harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana memberiakannya.

Bar-Tal (1976) mengemukakan bagaimana seseorang memutuskan untuk melakukan suatu tingkah laku prososial dalam situasi tidak darurat (nonemergency) dan variabel-variabel yang memengaruhi keputusan tersebut. Karakteristik tidak darurat menurut Bar-Tal, yaitu:
1)      Situasi tersebut tidak menyebbkan adanya ancaman atau kerusakan terhadap aspek-aspek kehidupan atau hak milik.
2)      Situasi tersebut merupakan kejadian yang bisa dialami seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Situasi tersebut secara jelas dapat dipahami dengan segera oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya.
4)      Situasi tersebut dapat diramalkan dan tidak memerlukan tindakan mendesak untuk dilakukan.
Proses pengambilan keputusan untuk melakukan tingkah laku prososial dalam situsi tidak darurat, di awali oleh adanya kesadaran (awareness) terhadap kebutuhan orang lain akan bantuan. Keputusan untuk membantu orang lain bergantung pada proses pertimbangan (judgemental process) yang melibatkan dua hal,yaitu: tanggung jawab pribadi (attribution of responssibility) dan mempertimbangkan untung-rugi (cots-reward calculation). Proses pertimbanagn tersebut dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu variabel pribadi (personal variables), variabel situasional (situational variables), variabel karakteristik orang-orang yang membutuhkan pertolongan (variables that characterize the person in need) dan variabel kultural (cultural variables).
Reven dan Rubin (dalam sulaiman, 1997) mengemukakan bahwa norma sosial yang menjadi bagian penting dalam melakukan tingkah laku prososial, adalah:
a.       Norma tanggung jawab sosial (social responssibility norm), yaitu noma sosial yang menentukan seseorang dalam menolong orang lain karena merasa bertanggung jawab terhadap penderitaan yang di alami oleh orang lain. Norma ini memberikan arah bahwa seharusnya kita membantu orang lain bergantung pada kita.
b.      Norma resiprositas (esiprocity norm), yaitu merupakan norma timbal balik yang menentukan apakah seseorang akan membantu dan berkeajiban membantu orang yang telah membantunya atau mengharapkan orang lain kelak akan membantunya.
c.       Norma keadilan (equity norm social justice), yaitu suatu tingkah laku menolong yang dilakuakan didasari oleh norma keadilan, yaitu keseimbangan anytara memberi dan menerima.
d.   Faktor – faktor yng mempengaruhi perkembangan tingkah laku prososial
Ada beberapa faktor agen sosialisasi yang dapat mempengaruhi perkembangan tingkah laku prososial, yaitu:
a.       Orangtua. Orangtua memenuhi secara signifikan hasil sosialisasi anak mereka. Orangtua mungkin menggunakan tiga teknik untuk mengajarkan anak-anak merelka bertingkah laku altruistik, yaitu: reinforcement, modeling, dan intruction.
b.      Guru. Meskipun keluarga merupakan agen sosialisasi yang utamg, sekolah pun mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkah laku anak (Eisenberg,1982). Guru mempunyai kesempatan untuk mengarahkan anak-anak dengan menganalisias cerita-cerita dalam bahasan yang berbeda. Isi cerita memberikan informasi tentang kapan dan bagaimana melakukan tindakan menolong, seperti bagaimana peduli terhadap orang lain. Selanjutnya isi cerita dapat mengembangkan empati dan kemampuan untuk role taking terhadap orang lain (wolf, 1975).
c.       Teman sebaya. Ketika anak tumbuh dewasa, kelompok sosial menjadi sumber utama dalam perolehan informasi, termasuk tingkah laku yang diinginkan. Identifikasi teman sebaya mengarah pada internalisasi otomatis nilai kelompok. Melalui kelompok teman sebaya, pengaruh dari agen sosialisasi yang lain menjadi terwakili, yaitu guru. Guru dapat membimbing norma kelompok yang mendorong tingkah laku menolong (Eisenberg, 1982).
d.      Televisi. Televisi bukan sekedar hiburan, dia merupakan agen sosialisasi yang penting. Sekarang ini orang mulai mengamati pengaruh televisi terhadap perkembangan tingkah laku prososial (Rushton, 1979). Melalui pengguanaan muatan prososial, televisi mempengaruhi pemirsa sebagai modeling. Televisi tidak hanya mengajarkan anak untuk mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan, tetapi juga bisa mengerti dengan kebutuhan orang lain, membentuk tingkah laku menolong, sekaligus juga memudahkan perkembangan empati (Eisenberg, 1982).

Selain agen sosialisasi seperti yang telah disebutkan di atas, perkembangan tingkah laku prososial juga berkaitan erat denagn moral dan agama. Akan tetapi, menurut penelitian Sappington dan Baker (1995) yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang yang bersangkutan tentang pentingnya menolong orang yang lemah oleh agama.
e.    Implikasi perkembangan tingkah laku prososial terhadap pendidikan
Sekolah merupakan salah satu konteks yang memberikan peranan penting dalam pengembangakan keterampilan sosial anak dan remaja (deutsch,1993). Strategi yang dapat digunakan guru disekolah dalam upaya membantu peserta didik dalam memperoleh tingkah laku interpersonal yang efektif, yaitu:
1)      Mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial dan strategi masalah sosial.
2)      Menggunakan strategi pembelajaran kooperatif.
3)      Memberikan label perilaku yang pantas.
4)      Meminta siswa untuk memikirkan dampak dari peilaku-perilaku yang mereka miliki.
5)      Mengembangkan program mediasi teman sebaya.
Memberikan penjelasan bahwa tingkah laku agresif yang merugikan baik fisik maupun psikologis orang lain tidak dibenarkan disekolah.

H.  Gender dan Perkembangan Peran Jenis Kelamin
1)        Penggolongan Gender
Penggolongan gender merupakan proses dimana anak mendapatkan identitas gender sesuai yang diharapkan masyarakat.

2)        Perkembangan Gender
Perkembangan penggolongan gender terfokus pada 3 hal yaitu perkembangan identitas gender (gender identity), stereotip peran gender (gender-role stereotype) dan pola perilaku golongan gender (gender-typed behavior).

3)        Pemrosesan Informasi Pada Anak dan Remaja
Kepribadian terbentuk melalui serangkaian tahap perkembangan anak yang berusat pada efek dorongan mencari kesenangan (pleasure-seeking energy).





















BAB IV
PENUTUP

A.      Simpulan
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
Terdapat perbedaan- perbedaan individual dalam pemahaman nilai-nilai dan moral sebagai pendukung sikap dan perilakunya. Jadi mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan serta tingkah laku.
Spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti spiritualis bagi mereka.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. 
Kecerdasan adalah salah satu milik kita yang berharga.Akan tetapi kecerdasan adalah salah satu konsep yang sulit didefinisikan sehingga orang – orang paling cerdas pun abelum mencapai kesepakatan perihal definisi dan cara pengukurannya.
 Pemrosesan informasi adalah suatu kerangka berpikir mengenai perkembangan remaja, sekaligus juga suatu faset perkembangan tersebut.
Ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, manusia adalah mahluk yang senantiasa mengalami perubahan atau ‘change over time’. Sejak dari masa konsepsi hingga meninggal dunia, manusia secara bertahap mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu aspek perkembangan psikososial yang di alami manusia adalah perkembangan tingkah laku prososial.
Penggolongan gender merupakan proses dimana anak mendapatkan identitas gender sesuai yang diharapkan masyarakat.Kepribadian terbentuk melalui serangkaian tahap perkembangan anak yang berusat pada efek dorongan mencari kesenangan (pleasure-seeking energy).Perkembangan penggolongan gender terfokus pada 3 hal yaitu perkembangan identitas gender (gender identity), stereotip peran gender (gender-role stereotype) dan pola perilaku golongan gnder (gender-typed behavior).
























DAFTAR PUSTAKA

Desmita.2007.Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Bandung:Remaja Rosdakarya.
John W.Santrock.2007.Adolescence.Dalas: TexasUniversity.
John W.Santrock.2007.Perkembangan Anak.Jakarta: Erlangga.
Kartini Kartono.2007.Psikologi Anak.Bandung:Mandar Maju.


4 komentar:

  1. sip sip sipp apik apik.. kunjungi blogku lahhh,,heheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhehe makasii ya...
      aq kunjungi kok blog mu,,,bgs juga blogmu isinya :D
      di folow donk blog ku,,, plizzz :)

      Hapus
  2. iyoo wong golet2,, hahahha tapi isih berantakan kiee anu agi pertama, iseng2,,hehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ow tapi uda bagus kok.. dr pada punya q msih sdrhana banget... hehehe

      Hapus